Selasa, 26 Oktober 2010

Metromini 03, 220210

kukatakan kepadamu tentang hijau huma
yang bakal kita kerjakan dengan sederhana
lelawa jadi luruh dengan rumput biru
jemari tangan kita lekat jadi satu
pipimu memerah hasratku merekah
mengapakah waktu tertinggal jauh....(Ebiet G. Ade)
 
Mendengar lagu ini, aku terkejut untuk kedua kalinya. Sedari tadi aku perhatikan lelaki kurus itu bernyanyi. Sangat menikmati. Dia seperti tengah bernyanyi untuk dirinya sendiri. Seperti tengah bernyanyi untuk gitar yang berdenting dalam pelukannya. Tidak seperti pengamen lain yang suaranya lebih sering tenggelam dalam teriakan kenek metromini dan perburuan kerincingan receh yang berusaha dikumpulkan tanpa peduli orang lain terhibur atau tidak. Dia sangat berbeda. Hal pertama yang membuatku terkejut.
 
Dan sekarang, dia menyanyikan lagu yang tidak biasa dinyanyikan pengamen lain. Aku terkejut. Dan lebih terkejut ketika tiba-tiba merasa sedih dengan lantunan suaranya yang dalam dan tenang. Kurasakan ada sesuatu di sana. Entah apa...
Adakah di suatu waktu, dulu, ia pernah menyanyikan lagu ini untuk perempuan yang dicintainya diiringi petikan gitar yang kini dipeluknya?

Pernahkah ada hari dimana ia berjalan dan menggandeng tangan perempuannya di pematang sawah jauh di desa?
Lalu apa yang memaksanya menyanyikan lagu ini, di sini, di dalam metro mini, dan bukannya setia menunggui huma yang dikerjakan bersama belahan jiwa?

Apakah hidup kali ini adalah benar-benar tentang kenangan? Apakah hidup kali ini benar-benar tentang kesedihan?
Ataukah kenangan-kenangan yang kukira ada itu hanyalah sebatas khayalku yang terbawa terlalu jauh akibat kedalaman suara dan denting gitarnya yang begitu hidup di udara pengap ini?
Entahlah, tapi aku menyukai rekaanku tentang kenangan-kenangan ini....
Hey, tolong jangan berhenti bernyanyi..biarkan aku mendengar sepimu di sini...
 
Tapi aku segera saja tersadar dan kecewa ketika dengan suara baritonnya pengamen ini mengucapkan terimakasih dan mengulurkan kantong kain kumal tempat receh yang dikumpulkan dari keikhlasan (atau keterpaksaan?) beberapa orang dalam metro mini ini, termasuk aku. Tiba-tiba aku merasa akan kehilangan dia. Kehilangan rasa sepi yang hidup itu..
 
Dan saat aku menulis kenanganku ini, di metromini yang sama, aku diam diam berdoa agar bertemu lagi dengan pengamen itu. Membiarkannya bernyanyi di dekatku. Membiarkan suara baritonnya membantuku melupakan keringat yang mengembun di antara anak rambut, wajah dan leherku, untuk sejenak berlari sendiri dalam kepalaku, mereka jalan-jalan yang pernah dilewatinya hingga mampu bernyanyi begitu tenang dengan nada yang penuh sepi.

Diam-diam harus kuakui aku suka pada caranya bernyanyi. Aku suka mendengar suara yang menggambarkan betapa setianya ia pada nada dan gitarnya, sementara ibu kota memaksanya bernyanyi di jalanan, mengumpulkan recehan....

Ternyata tak kutemukan keberuntungan. Tak juga ia muncul hingga terminal terakhir.

waktu untuk sesuatu

Sekarang ini, sama seperti berpuluh-puluh hari yang sudah berlalu...aku begitu rindu kamu. sangat, teramat sangat rindu. ingin memelukmu semalam suntuk. merasakan lagi lembut jarimu yang meraba wajah dan bibirku seperti tengah berusaha merekam gerakan bibirku yang berbicara tentang banyak hal tanpa peduli kamu mengerti atau tidak. dan matamu biasanya akan menatapku lama. kemudian tersenyum. entah untuk apa...tapi aku menikmatinya. sangat menikmatinya.
sama seperti aku menikmati kakimu yang seringkali kamu letakkan secara sembarangan di pahaku sambil bercerita macam-macam tanpa peduli aku mengerti atau tidak. barangkali cara kita menikmati ketidakmengertian kita itulah yang membuat kita bisa tersenyum ataupun tertawa bersama tanpa merasakan keharusan untuk saling mengerti...
membuatku merasa hari dan malam berlari begitu cepat. terlalu cepat...yang membuatku berpikir, 24 jam bukanlah jumlah yang tepat untuk menggenapkan satu hari.
dan sama seperti berpuluh-puluh hari sebelumnya, masih ada beberapa jam yang harus kulewatkan di tengah amukan rindu ini. berat, sayang..aku sudah terlalu rindu pada matamu yang dengan cerianya tertawa ketika melihatku. terlalu rindu pada pelukanmu yang terasa sangat tidak sabar..aku rindu ingin memeluk tubuh kecilmu yang hingga pagi tadi masih berusaha untuk kamu balikkan setelah lelah tengkurap beberapa waktu.
sabar sayang.....kamu, gadis kecil Ibu, belum mampu untuk itu. selalu ada satu waktu untuk sesuatu....
untuk Xavi, gadis kecilku yang dengan selengkap hati dan segenap jiwa kucintai.

Rabu, 06 Oktober 2010

...saat Cinta jadi neraca

entah ini tulisan yang ke berapa tentang tokoh yang sama. ternyata masih ada luka padanya. membaca sekian cerita yang tercipta, aku jadi bertanya, adilkah ketika luka cinta dijadikan neraca? neraca untuk seberapa ceria cinta membunga, seberapa luas sayang membentang, seberapa jauh rindu memburu, dan seberapa dalam duka membenam? apakah harus bertanya adil tidak adil? ataukah tak perlu bertanya apa-apa, seperti ceritaku tentang perempuan ini?


sampai sekarang perempuan itu masih tidak mengerti satu hal..
dengan semua perasaan "ditinggalkan" yang masih kuat, dengan semua marah yang masih berdiam, dengan pedih yang memenuhi tiap sudut dan ruang, masih saja dia ingin laki-laki itu melihat hatinya, membaca lukanya, menerjemahkan perasaannya...tapi lagi-lagi dia berpikir, apakah semua hal harus dimengerti? tidak cukupkah hidup dengan apa yang ada tanpa harus mengerti mengapa ada?

selain itu, mungkin laki-laki itu juga tidak akan berusaha untuk melihat hatinya. mungkin laki-laki itu, seperti biasa, akan selalu melihat dari sisi keberadaannya sendiri. melihat bahwa dialah yang paling tersakiti dengan semua yg terjadi, tanpa merasa bahwa dia juga harusnya mengerti mengapa perempuan itu merasa ditinggalkan, sangat marah, ataupun merasakan pedih. tidak akan bertanya mengapa selalu ada bayangan merah perlambang duka di kedua mata perempuannya? mata yang sebelumnya selalu bernyanyi saat bicara? tidak akan melihat bahwa semua janji dan sikapnya yang selalu datang dan pergi sesuka hati, menebar sejumput garam untuk tiap sayatan di hati perempuan itu. sayatan dari luka yang berulang kali berusaha ditutupi dengan kesediaan perempuan itu memeluknya tiap kali ia datang dengan segenap luka dan gembira. juga kepasrahan perempuan itu merengkuh lara tiap ia pergi tanpa basa basi. sayatan dari luka yang tidak pernah dipertanyakan asal usulnya....

kalau laki laki itu saja tidak berusaha bertanya, mengapa juga ia harus mengerti? kalau laki laki itu menebar garam, apakah harus ikut-ikutan menuangkan cuka?

demi semua perasaan pedih yang pernah dan masih ada, perempuan itu tetap ada ketika laki laki itu datang, bicara, seperti tak pernah terjadi apa2. seakan laki laki itu tak pernah mengatakan apapun yang membuatnya runtuh, menyatu dengan tanah basah. seakan laki laki itu satu satunya yang layak ditunggu di bumi sepinya.

demi segala hal yang tidak ia mengerti, perempuan itu memilih untuk membiarkan semuanya ada di sana. tanpa bertanya mengapa ada. karena seperti itulah cinta itu ada. begitu saja, dan tidak layak dipertanyakan.
seperti itu juga luka itu tercipta. perlahan dan tidak terbayangkan dalamnya.
seperti itu juga ia muncul di kehidupan laki laki itu. ada, tapi tidak patut diangkat ke permukaan.

lagipula, tak pernah cukup kekuatannya untuk tidak lagi menjadi perempuan kedua dan tak pernah pula ia ingin jadi perempuan pertama. jadi, mengapa harus bertanya mengapa ada kalau cinta akan tetap jadi miliknya dan luka akan tetap jadi neracanya...?


buat temen gw,  perempuan muda yang menjadi perempuan kedua….

DUA LAKI-LAKI DI KESEHARIANKU


Aku terbiasa berangkat jam 7.30 dari tempat aku tinggal dua bulan terakhir ini. Seperti biasa, ketika aku sudah keluar beberapa langkah dari gerbang, sudah ada yang menungguku. Dia, laki2 yang sebenarnya tidak aku tau siapa namanya. Setelah beberapa kali kami berjalan bersama, setelah satu atau dua kalimat pertanyaan setiap paginya,  kami sempat mengenalkan nama masing-masing, tapi namanya sama sekali tidak tersimpan di otakku. kuakui, aku payah dalam urusan mengingat nama.

Laki-laki itu, tiap pagi akan menunggu dan berjalan bersamaku sampai depan pintu gerbang kantorku. Begitu seterusnya tiap pagi. Sempat juga meminta nomor ponselku. Tapi aku katakan belum saatnya dia tau. Yah…mungkin sebenarnya maksudku adalah "tidak, aku tidak akan memberimu angka2 itu". Well, aku pikir itu cukup bijak daripada aku akan merasa terganggu nantinya. Mungkin dia akan menyebutku sombong atau segudang penilaian lain, tapi aku hanya mencoba menyelamatkan waktuku, malamku, jam-jam istirahatku.... Sudah cukup banyak yang mengganggu pikiranku pada jam-jam itu, dan aku sedang tidak memerlukan gangguan tambahan. Untuk itu, aku harus mulai membuat jeda. Toh juga kami akan tetap bisa berteman tanpa keterlibatan ponsel ku kan?
Pssstt....sudah tiga hari ini dia bertanya "hari ini sudah waktunya?"
aku selalu menjawab "Haha...tidak". Kemudian aku akan melambaikan tangan dan bergegas meninggalkan.

Sesampai di kantor, sudah ada laki-laki kedua yang menungguku. Bertanya...
"Sudah sarapan?"
"Kenapa tidak sarapan?"
"Tapi kamu sebaiknya sarapan”.

Dan lebih sering kujawab….
“Belum”.
“Sedang tidak ingin”.
“Aku tau”.

Jam makan siang, dia akan bertanya "Kamu ga  makan?"
Atau kalimat ini "Ayo makan, nanti kamu sakit. Sekalipun kamu tetap cantik dengan muka pucatmu, aku tetap saja tidak suka kalau kamu sakit… "

Hoho…selalu ada sinterklas si baik hati…. 
Dan di sela sela kesibukanku, akan muncul pesan "Hai hai hai……kamu apa kabar sampai jam ini? Aku kangen belum menyapa kamu sejak pagi."
Atau ini…
"Hai hai hai....aku akan berjalan ke arahmu. Aku ingin melihatmu."
Selalu dengan tiga “Hai”. Jadi dari belahan komputer manapun dia mengirimkan pesan, aku akan tau itu dia.

Satu pertanyaan "Apakah aku akan merindukan rutinitas yang mereka tambahkan ke keseharianku kalau suatu saat mereka tidak lagi melakukannya? Ataukah aku akan bersyukur?" Aku cuma berharap, aku tidak akan merindu dan tidak akan bersyukur...

Lebih seperti pergantian hari..selalu ada yang baru, yang tak perlu ditunggu…

PENSIL


Ketika aku menulis di bawah lampu kamar yang kubiarkan temaram, kudengar gesekan antara pensil dengan kertas yang kugunakan, aku tiba-tiba ingat betapa senangnya aku menulis dengan pensil, tanpa kutau pasti sebabnya. aku lebih suka pensil daripada pena. entahlah. mungkin karena warnanya abu abu? atau gampang dihapus? Atau suara gesekannya yang selalu saja terdengar membentuk irama sendiri?

Mungkin iya, mungkin juga tidak.
Baiklah, aku akan mencoret bagian yang mengatakan gampang dihapus. karena selama ini aku lebih suka mencoret tulisan yang tidak membuatku jatuh hati, ketimbang menghapusnya dengan penghapus. kalau dihapus, jejaknya hilang dan tidak akan ada bekasku disana.  kecuali kalau ada orang2 tertentu dengan keahlian tertentu, alat tertentu, dan keisengan tertentu mencari bekas jejak pensilku, aku rasa jejakku akan terbaca. aku tidak mau begitu. aku mau ada bekasnya. Untuk aku baca. yah, paling tidak, aku masih bisa mendapatkan kembali sesuatu yang sebelumnya kuanggap kesalahan, atau jelek, atau sebagainya, untuk kuperbaiki, kujadikan sebagai sebuah kebenaran. Atau setidaknya aku masih bisa membaca kata yang ada di bawah coretanku yang biasanya hanya terdiri dari satu garis.  Setidaknya aku bisa berpikir ulang tentang sesuatu itu. Setidaknya, aku bisa untuk itu. Dan ketika hal yang sama tak bisa kulakukan terhadap hidup yang berlari, pergi, tidak terganti, dan tidak berputar kembali, paling tidak bisa kulakukan di duniaku yang lain. Dunia pensil dan kertasku.

Abu abu....? Hmm...iya, abu abu. Sepertinya itu jawabanku. mungkin ada yang akan bilang, warna pensil adalah hitam. tapi aku lebih suka menyebutnya abu abu. aku suka warna itu.  dalam roda warna, abu abu itu kabarnya terjadi dari pertemuan warna hitam dan putih. seberapa abu abu yang kamu mau? tinggal kamu pilih. putih lebih banyak, atau hitam yang akan meraja. tergantung padamu. warna banci kata beberapa orang. karena ada di antara hitam dan putih. tidak punya pendirian, imbuh mereka. ah, siapa peduli terhadap pendapat mereka? lagipula, bagaimana dengan merah muda, hijau muda, kuning muda, dan yang serba muda? bukankah mereka semua terbuat dari campuran putih dengan warna apapun yang ingin diimbuhkan kata muda? bukankah warna banci juga pada akhirnya? Dan paling tidak, abu abu itu punya nama. Dan namanya bukan hitam muda atau putih muda seperti warna lain yang dicampur putih, yang namanya benar2 masih merupakan gabungan. haha....aku tertawa sendiri. Andai saja hidup segampang mencampur warna. Akan kubuat warna perasaanku abu-abu. Agar tak gampang kamu terjemahkan…

Aku juga suka alasan suara yang tercipta dari gesekan antara kertas dengan pensil. Agak serak dan merdu di telingaku. entahlah. seperti berusaha menyatakan keberadaan mereka. bahwa mereka tengah bekerja bersama. Menghidupkan irama, untuk hatiku, juga sadarku.

Oya, sekedar untuk kau tau, dari sekian banyak pensil yang aku punya, aku paling suka pensil berbalut kayu berwarna cokelat dengan tulisan nama hotel berinisial "IA" di tengah-tengah. Kucuri dari kotak pensilmu waktu itu. ^_^
Jarang kugunakan.
Karena aku tidak mau dia habis sedikit demi sedikit hingga tak lagi bisa kuputar-putar diantara jariku.
Karena bagaimanapun abu-abunya hatiku, aku ingin kamu tau, tulisan ini kubuat karena kudengar merdunya gesekan pensilmu di atas kertasku.


Untukmu, yang merelakan pensil bertuliskan “Hotel IA Makassar”, untukku.

Selasa, 28 September 2010

nama sebatang cokelat


cokelat itu masih tergeletak begitu saja di atas mejaku.
entah serupa apa, cokelat ini mengingatkanku pada sesuatu. tapi entah serupa apa.
entah kenangan apa yang tersimpan di balik bayangan yang tiba-tiba saja memenuhi kepalaku tentang bungkus cokelat yang bermerk sama dengan cokelat yang di atas mejaku ini.
entah apa di balik gambar laki-laki berkaus biru tua yang berjalan bersisian denganku di sebuah tangga. gambar yang menyeruak ke ingatanku, hasil tenunan dari nama cokelat ini. dan gambar itu berusia lebih dari sepuluh tahun. waktu aku masih akrab dengan seragam putih abu-abu dengan rambut yang panjang hingga ke paha yang selalu kuikat ekor kuda.
satu-satunya yang kuingat dari cokelat ini adalah, dulu, pembungkusnya terbuat dari bahan yang berbeda. dan baru ada satu rasa. sementara yang tergeletak di depanku, adalah rasa yang berbeda dengan rasa cokelat yang berputar-putar nyasar di kepalaku. tapi semua perbedaan ini tidak membuat gambar yang hidup dari kenangan itu menjauh. justru bertambah kuat. aku tidak mampu mengingat...tidak menemukan utuhnya.
cuma serpih-serpih yang sebentar kemudian lumer di lidahku, menjadi kesedihan... tidak juga menemukan di batas mana cokelat itu menghubungkan aku dengan rasa sedih yang menguar nanar.apakah karena kulit cokelat laki-laki itu? tidak. tidak seharusnya warna hasil bakaran matahari itu membuatku sedih.
karena kaus biru tuanya? seharusnya tidak membuatku sedih juga sekalipun kadang itu menjadi perlambang kedukaan bagi sebagian orang.
karena mata kecilnya yang menari setiap kali tertawa? mungkin....
karena rasa sukanya padaku yang kuabaikan begitu saja dalam tawa2 meriah? mungkin....
lalu dimana seharusnya cokelat ini berada?di tanganku? di genggamnya? atau di etalase toko yang kami lewati waktu itu?
ah, cokelat ini membingungkan. kalau setiap nama punya jiwa, mengapa nama cokelat ini seperti membuatku kehilangan indera sementara jiwanya mengetukku dengan sangar dalam gambar?

nama cokelatnya: beng-beng

Cinta Kami Bertiga

kami bertiga adalah saudara sekandung tanpa ikatan darah. tapi kami sekandung. atau paling tidak, begitulah kami menyebut diri kami. satu perempuan, satu laki-laki, dan satu laki-laki lain....berasal dari orang tua berbeda, kehidupan yang berbeda, kota yang berbeda. bertemu di jakarta. saling menggenapi. menyayangi dan peduli satu sama lain.
hingga satu hari, satu dari dua laki-laki itu berkata:
"gw ga takut jatuh. karena gw punya lo. orang yang bakal selalu nangkep gw, yang ga akan ngebiarin gw pecah terbanting...dan gw tau lo bakal selalu ada di situ"
begitulah laki-laki itu berucap setiap kali aku mengingatkan untuk tidak terlalu melambungkan angannya. 
hingga satu hari lain lagi, dia jatuh. jatuh sejatuh-jatuhnya. dan aku tidak sanggup menangkapnya. lenganku tidak cukup panjang untuk menggapainya. bukan karena angannya yang tak tercapai, tapi karena angannya tercapai dan menyeretnya pergi dari kami. hingga dengan kesadaran penuh, aku yang berusaha menangkapnya, terseret, terjatuh bersamanya. kami merasakan tanah yang keras dan berdebu. menyakiti tubuh dan segenap hati kami. menggelapkan dan memerihkan mata hingga kami menangis dalam diam kami, di tempat kami masing-masing. kami tak lagi mampu berbagi.
sementara laki-laki yang lain, selalu ada untuk kami. menjadi pendengar. menjadi penengah....
remukkah kami? entahlah....yang aku tau dan aku percaya, kami masih tetap kami.  orang-orang yang tidak pernah memaksakan ego kami. yang mengalah. selalu mengalah. dan lagi-lagi mengalah.
kami kalah. bahkan tidak sanggup menyeka darah. akhirnya setuju memberikan kesempatan pada waktu untuk mencoba mengeringkan darah, menyembuhkan luka. membumbungkan doa di setiap nyala dupa atau harum bunga di pelataran pura yang dulu sering menjadi tempat janji temu kami. tempat dimana kami dulunya saling memercikkan tirta di kepala dan tangan kami masing-masing, seperti kami selalu saling memercikkan ketulusan untuk bisa dirasakan bersama.
aku tidak perlu bertanya kemana hari-hari itu pergi. tidak perlu. kami telah bersepakat untuk menunggu. bersepakat menggunakan waktu untuk membumbungkan doa kami bersama, keinginan kami bersama. di pura yang sama, di waktu yang berbeda. atau di pura dan waktu yang sama, di tempat duduk yang berbeda. sendiri-sendiri...karena kami sudah tidak lagi berkuasa untuk bersimpuh dan bersila berdampingan.
selalu ada luka di mata kami semua saat saling memandang. tapi luka yang tidak boleh ditunjukkan. luka yang hanya ada di mata. merapat di jiwa. luka yang kami berusaha abaikan.
kami abaikan, demi istrinya, wanita yang dicintainya....wanita yang tidak mau aku ada di antara jiwa.
demi kami juga. kami yang ada. karena aku tau dan aku percaya, kami masih kami. masih saling menyayangi dan peduli. tiga saudara sekandung yang tak punya ikatan darah. tapi kami sekandung. atau paling tidak, begitulah kami menyebut diri kami.
tiga saudara sekandung. satu perempuan yang masih terluka, satu laki-laki yang masih terluka, dan satu laki-laki lain yang selalu ada untuk kami yang terluka. menjadi pendengar, menjadi penengah....hingga ia juga perlahan terluka....
october 5th.
untuk saudara kami. laki-laki yang teramat sangat mencintai wanitanya. laki-laki yang gambarnya masih terpajang di atas meja, di dekat tempat tidur...

Sepotong Daging Ayam di Kotak Makanku

Salah satu kebiasaan di kantorku adalah ruangan diredupkan saat makan siang. hanya beberapa lampu saja yang menyala. aku tidak tau alasan pastinya. apakah alasan Go Green yang belakangan banyak dibicarakan, ataukah alasan penghematan biaya listrik semata. Apapun itu, aku tidak terlalu peduli. Yang aku peduli, aku biasanya sudah lapar saat ruangan diredupkan.
Siang ini,akhirnya ruangan ini mulai diredupkan. ahhh.....akhirnya. waktu makan siang tiba. perutku sudah ribut sejak tadi. maklum, aku baru menghabiskan satu mangkok bubur kacang hijau, satu gelas teh panas, satu potong risoles, serta beberapa keping biskuit, beberapa gelas air putih. berusaha menggemukan badan. tapi tetap saja ceking. padahal sudah kuhabiskan banyak obat pembasmi cacing karena satu-satunya tersangka dalam kasusku ini adalah cacing. bulan demi bulan setelah obat itu kukunyah, tetap saja aku ceking. jadi kurasa ini bukan perkara cacing.
kuambil kotak jatah makan siangku yang sudah disiapkan sejak tadi.
ada sayur sop, daging ayam goreng ungkep, telur merah, tidak ketinggalan sambal. oh, aromanya begitu harum.
aku mulai makan. satu suap, dua suap, satu sendok, dua sendok....nyam nyam...
sekarang giliran si daging ayam. bumbunya menggoda. tapi aku agak kesulitan saat mencoba mencabiknya dengan sendok. hmm..ayam, sudah mati masih saja menyusahkan. ayolah, jangan mengajakku perang di saat seperti ini kataku dalam hati. tapi masih juga daging ayam itu keras kepala. akhirnya, kudapat secabik besar. kukunyah. ah....dagingnya liat. tapi masih kucoba. pamali membuang makanan kata nenekku. dan aku masih menurut sejauh ini.
kukunyah lagi, kukunyah lagi, dan coba kutelan.
oo...aku panik mencari gelas minumku. daging ayam itu tidak bisa (atau dia tidak mau?) melewati kerongkonganku dan nyaris membunuhku kalau saja tidak cepat kuminum air untuk mendorongnya masuk. akhirnya, aku singkirkan saja. dan melanjutkan menghabiskan yang lain. nenek tidak akan marah, pikirku. kalau marah, akan kuminta nenek saja yang mencoba menghabiskannya. aku jadi ingin melihat reaksinya melawan daging ayam itu...
selesai makan, aku berpikir tentang daging ayam tadi. aku adalah orang yang percaya reinkarnasi. dan aku menebak jangan jangan ayam yang aku coba makan dagingnya tadi, adalah reinkarnasi dari nenek tua peot yang keras kepala. keras kepalanya sudah mendarah daging di arwahnya. sampai sampai tetap terbawa sampai saatnya dia harus terlahir kembali ke dunia sebagai ayam untuk menebus dosanya...atau apakah tukang masak yang memasak daging ayam itu adalah reinkarnasi dari ayam? sehingga dia selalu memilih untuk memasak daging ayam yang sudah tua dan berdaging liat supaya orang orang sepertiku kapok makan ayam? entahlah....
pikiranku melantur kemana mana lagi. aku mengembalikan kotak makanku ke tempatnya. tidak lupa meminta maaf pada si ayam karena setelah bersedia dikorbankan, dagingnya malah berakhir di kotak makanku, dengan sedikit cabikan yang membuatnya terlihat cacat. dan sekalipun semua juga tau mengapa ia masih ada disitu, dan meskipun bukan salahku tidak mampu menelannya, aku tetap mengenangnya dengan miris. bagaimana aku tidak miris? harusnya ini menjadi kebahagiaan bagi kami berdua. aku dan ayam itu. aku bahagia karena bisa makan daging ayam siang ini yang berarti menghargai pengorbanannya, dan dia juga bahagia karena pengorbanannya tidak sia sia....tapi apa boleh buat. maafkan aku.....

Lana...

how long have i been in this storm
overwhelmed by the ocean
shapeless form
water is getting harder to thread
with this waves crashing over my head
if i could just see you, everything will be allright
if i'd see you,this darkness will turn to light
and i will walk on water
and u will catch me if i fall
and i will get lost into ur eyes
i know everything will be allright
i know everything is allright
(Storm-Lifehouse)


03 Maret 2009
Lana, apa kabarmu di sana?
lagu ini masih saja berputar-putar di kepalaku. entahlah, aku tiba-tiba saja seperti hanya mengenal lagu ini sejak kamu pergi dan tidak lagi bicara tentang bagaimana aku harus berlaku.
hujankah disana, Lana? Disini hujan. sangat lebat.

14 Maret 2009
Lana, apa kabarmu? Apa yang tengah kamu lakukan?
Saat ini aku tengah memandang dua orang yang sedang berbincang. persis seperti yang sering kita lakukan dulu. mungkin kamu akan bertanya mengapa justru dua orang ini yang aku perhatikan. mengapa bukan pasangan lain....tapi kalau kukatakan bahwa si perempuan adalah seorang gadis berkulit terang, memiliki rambut pendek dengan pakaiannya yang begitu biasa, yaitu celana panjang hitam, kemeja kerja bercorak hitam, putih, cokelat, atau abu-abu, aku percaya kamu akan mengerti alasanku.
Iya Lana...gadis itu senantiasa mengingatkanku padamu. semua yg ada di dirinya adalah kesukaanmu. rambut pendek serta pakaiannya adalah kesukaanmu....dan semua yang ada di dirimu adalah kesukaanku....

26 Maret 2009
Lana, masih ingat ceritaku tentang gadis yang selalu mengingatkanku padamu?
Gadis itu adalah staff baru di kantorku. dia ceria. paling tidak itulah kesan pertama yang aku tangkap. dia ramah, manis. sepertinya enak untuk diajak berbincang. tapi tidak kulakukan. sedang tidak ingin berbincang dengan siapapun yang mirip kamu. untuk apa berbincang, kalau dengan melihatnya saja, sudah cukup membuatku makin terbenam dalam perasaan rindu yang tidak menentu ini. membuat mimpiku tentangmu kembali datang di malam hari.
Lana, laki-laki yang dulu kuperhatikan berbincang dengannya, sangat sering mendatangi mejanya. mereka berbincang, Lana. seringkali berbincang. mereka tertawa. seringkali tertawa. hal yang biasa kita lakukan bersama. dulu. bahagia. seperti yang kita rasakan dulu.

10 April 2009
Lana, kedua orang itu membuatku miris lagi.
mereka pergi makan siang bersama. Mengingatkanku padamu lagi. Pada saat saat awal aku mengenalmu, aku terbiasa mencari alasan untuk mendekatimu. Tak berapa lama, aku sudah terbiasa tau menu makan siangmu. Dan aku terbiasa memasrahkan menu makan siangku atas pilihanmu. Kalau diingat-ingat, apa saja yang kita perbincangkan saat makan siang?
Seingatku, banyak. banyak sekali. tentang kemarahanku pada sesuatu. tentang ketidaksukaanku pada sesuatu. tentang kesukaanku pada sesuatu. tentang kecintaan kita pada sesuatu. semua, hampir semua....
Dan selebihnya? Aku tidak peduli. Karena aku sebenarnya hanya ingin bersamamu. Makan siang hanya alasanku untuk bersamamu. Aku hanya mau melihatmu makan sambil tidak berhenti bicara. Atau merasakan kedalaman matamu ketika mendengarkanku bicara. Banyak waktu dimana kamu biasanya diam, menungguku selesai bicara, lalu bicara pelan-pelan padaku, mengatakan bagaimana aku baiknya berlaku. lalu menyentuh punggung tanganku. Kalau sudah begitu, yang ingin aku lakukan adalah memelukmu. mengakui apapun yang aku rasakan terhadapmu waktu itu. tapi, akan aneh kalau aku memelukmu di tempat kita biasa makan siang itu. jadi, aku hanya berdoa semoga arloji kita rusak dan kita terlambat kembali ke kantor. haha...sesuatu yang tidak pernah terjadi kan?
Saat ini, melihat mereka berdua dan mengingat kita berdua, aku jadi ingin tau, apa menu makan siangmu hari ini?

24 April 2009
Sudah lewat 20 menit dari pukul 5 sore. Aku sudah di mobil. Waktunya pulang, Lana....
SEperti biasa,selalu saja aku rindu dengan kehadiranmu di sini. Di sampingku. Di mobil tua ini. Aku tiba-tiba ingin kehilangan arah lagi. Ingin terjebak kemacetan Jakarta lagi. Asalkan kamu ada di sampingku. Asalkan kamu bersedia mendaratkan satu ciuman lagi di pipiku...memelukku sekali lagi...

30 April 2009
Lana, apa kabarmu?
Marahkah kamu kalau kukatakan aku sempat melihatmu siang itu? Tengah menyeberangi jalanan di depanku. Masih tetap cantik. Dan...begitu ceria seperti biasa...Kutekan kuat keinginanku memanggilmu. Karena kutau, setelahnya, aku tidak akan mampu menahan hatiku untuk mengejar dan memelukmu. Dan semua akan semakin buruk saja....

12 Mei 2009
Lana, lagu itu berputar-putar lagi di kepalaku.  Entahlah, sepertinya hanya lagu itu yang dikenali oleh kepalaku sejak kamu pergi dan tidak lagi bicara tentang bagaimana aku harus berlaku....
Apa yang harus kulakukan Lana, saat rinduku padamu benar-benar membuatku tak bisa beranjak kemanapun... kecuali ke kantor dan ke ruangan ini. ruangan dimana satu-satunya kenangan tentangmu akan selalu hidup. ruangan tempat anak laki-laki kita tertidur. sangat lelap. dan tersenyum. apakah kamu mendatangi mimpinya malam ini? aku berharap kamu mau menyelinap keluar dari surga selama beberapa jam setiap malam untuk menemani tidurnya....

12 Mei 2008
Lana, anak kita sangat mirip denganmu. Bagaimana caraku mengatakan padanya bahwa hari ini, saat ia berumur sehari, Ibunya sedang ada dalam peti yang akan membawanya ke surga?

sambil dengerin Storm dari Lifehouse

widi...gea...raja...

Widi punya kebiasaan baru. mengunakan earphone. sebelumnya dia tidak suka memasukkan apapun ke kupingnya. tapi belakangan, terlalu banyak cerita yang harus diserap, terlalu banyak peristiwa yang mesti ditenggang oleh rasanya. earphone membantunya lari....membantunya punya dunia sendiri. dunia penuh suara dan nada yang disukai. bukan suara lirih yang mebuatnya senantiasa jatuh lagi, bukan juga suara tertawa ceria yang menggigit hati sedikit demi sedikit seperti rayap.....
Widi punya kebiasaan baru. menggunakan earphone.  tapi itu sangat sangat membantunya. membantunya merawat jantung hati yang merendam suka dalam-dalam di dalam dada. untuk Gea. perempuan berkulit putih, bermata jernih, bulat seperti kelinci. perempuan yang ketika tertawa, selalu saja membuat seluruh dunia seakan ikut tertawa bersamanya. dunia seakan berubah menjadi warna-warni terang. hijau terang, merah terang, kuning terang, biru terang, jingga terang, ungu terang, seperti warna spektrum matahari....tetapi entah mengapa tidak ada putih terang ataupun hitam terang di dunia Gea. tapi tak apa, pikir Widi. Karena Widi suka hitam dan putih. jadi, kekurangan warna Gea bisa diisi Widi.
Widi punya kebiasaan baru. mendengarkan musik lewat earphone. bukan sesuatu yang disukainya, tapi belakangan adalah obatnya. obat untuk lari dari sakitnya rasa cemburu di seluruh jiwanya ketika Gea tertawa bersama seluruh dunia, tapi tersenyum cuma untuk Raja. senyum yang bahkan Widi sendiri belum pernah lihat. Dan Widi tidak suka. Raja tidak akan bisa melengkapi Gea. Karena Raja tidak suka hitam dan putih. warna yang hilang di dunia Gea. Gea seharusnya adalah pasangan Widi. Karena hitam dan putih adalah milik Widi. warna yang hilang di dunia Gea....
Widi punya kebiasaan baru. membuat dunia baru lewat earphone di kupingnya. bukan sesuatu yang disukainya. tapi membantunya mengusap luka. luka atas cinta yang tak pernah bisa diutarakan kepada Gea. cinta yang harus disimpan karena akan melukai Gea. Sekalipun Widi tidak suka Raja, tapi pasti dia lebih baik. Karena Raja adalah laki-laki berkulit coklat kesukaan Gea. Dan sekalipun Widi punya warna yang tidak ada di dunia Gea, mungkin lebih baik warna itu bukan dari Widi. Karena Widi adalah perempuan berkulit putih, dengan mata yang penuh cinta. untuk Gea. Perempuan berkulit putih, bermata jernih seperti kelinci. Yang tersenyum hanya untuk Raja.
Baru saja dibuat pagi ini, dengan earphone di kuping, mengalirkan "Next Plane Home" dari Daniel Powter

dengarlah bagaimana musik berbicara untuk hatimu.....

Saat Aku Lanjut Usia-Sheila On 7
Aku tengah mendengarkan lagu ini. Lagu yang menyenangkan untuk didengar. Begitu ceria dan....tak bisa kamu katakan tidak romantis. menurutku romantis. sangat romantis malah.
membuatku membayangkan betapa bahagianya saat rambut kita memutih semua, saat kulit kita tak lebih baik dari baju-baju yang baru selesai diperas Imah si mbok tukang cuci, kita tetap bisa berjalan-jalan pagi, sambil bergenggaman tangan. masih bisa menertawakan tingkah laku anak-anak muda yang saat ini kita sebut dengan 'alay'. masih bisa bicara tentang musik, fotografi, atau bahkan headphone yang belakangan adalah mainan barumu....
membuatku berharap bahwa hingga saat itu datang, cinta masih bersama kita. masih menjadi rumah untuk hati kita. seperti kita selalu berusaha membuat cinta sebagai rumah bagi anak-anak dan cucu-cucu kita nantinya.
hingga saat kematian akhirnya harus dengan tanpa perasaan memisahkan kita, kita masih meninggikan harap untuk berjumpa di kehidupan lain.
kehidupan neraka? ataukah surga? bila di surga, sepertinya wajah kita tidak akan berubah. aku akan tetap cantik sementara kamu tetap biasa-biasa saja (;-)). haha....
tapi bila di neraka, kemungkinan wajah kita akan menjadi begitu buruknya hingga mungkin tidak akan saling mengenali....jadi, bagaimana aku akan mencarimu? atau, bagaimana kamu akan mencariku?
tetapi, andai saja kita berkesempatan untuk reinkarnasi (aku masih yakin bahwa kita masih akan ber-reinkarnasi), kita berjumpa kembali di dunia sebagai orang yang berbeda lagi, mungkinkah kamu masih akan mengingatku? bagaimana kalau kita tidak saling mengingat? bagaimana kalau hanya salah satu dari kita yng mengalami dejavu? akan sedihkah aku atau kamu?
aku tidak tahu. benar2 tidak tahu. tetapi, bila kamu yang mengingatku, satu-satunya yang harus kamu lakukan adalah menawariku taxi. kali ini bukan untuk menggodaku di bandara. tapi untuk membawaku pulang lagi....

hi, apa kabarmu pagi ini?

pagi ini aku datang ke kantor tidak lebih awal dari biasanya. tp lampu ruangan masih belum semua dinyalakan. aku bergegas menghempas tubuhku ke kursi. sengaja kubiarkan beberapa lampu tetap padam supaya temaram. damai ya rasanya seperti ini....berada dalam gelap yang tidak pekat. tidak harus berinteraksi dengan sinar yang serasa menyakiti mata.

terlebih ketika badan sedang kurang bersahabat seperti pagi ini. begitu jauh rasanya jarak antara tubuhku dengan semangat. makin jauh rasanya ketika melihat tumpukan kerjaan. kuletakkan kepala di atas meja. kututup mata. nikmatnya....mengistirahatkan kepala dan tubuhku yang terasa sdikit berat. membiarkan apapun yang ada di pikiranku berlari lari sesuka hati tanpa aku harus peduli. pikiran2 yang berlari hingga begitu dekat dengan mimpi ketika kucium bau parfumku sndiri. seperti lullaby yang meninabobokan syaraf-syaraf kesadaran gadis kecilku setiap malam. ada sekelebat mimpi lama yang bersikeras kulupakan. tp kubiarkan saja hari ini....
 
dan tiba2 lampu di atasku berkedip beberapa kali. menyala. ahhhh...aku tidak suka ini. tapi aku juga terlalu malas untuk berteriak menyuruh siapapun yang membuat ruangan ini terang benderang untuk kembali menggelapkannya.
 
dan mulai kudengar suara sayup orang2 berjalan menaiki tangga. satu persatu kepala muncul di pintu. hahhhhh.....mengapa kedamaian hanya diberi waktu beberapa detik saja??
 
bagaimana pagimu? sekusut milikku?