Selasa, 26 Oktober 2010

Metromini 03, 220210

kukatakan kepadamu tentang hijau huma
yang bakal kita kerjakan dengan sederhana
lelawa jadi luruh dengan rumput biru
jemari tangan kita lekat jadi satu
pipimu memerah hasratku merekah
mengapakah waktu tertinggal jauh....(Ebiet G. Ade)
 
Mendengar lagu ini, aku terkejut untuk kedua kalinya. Sedari tadi aku perhatikan lelaki kurus itu bernyanyi. Sangat menikmati. Dia seperti tengah bernyanyi untuk dirinya sendiri. Seperti tengah bernyanyi untuk gitar yang berdenting dalam pelukannya. Tidak seperti pengamen lain yang suaranya lebih sering tenggelam dalam teriakan kenek metromini dan perburuan kerincingan receh yang berusaha dikumpulkan tanpa peduli orang lain terhibur atau tidak. Dia sangat berbeda. Hal pertama yang membuatku terkejut.
 
Dan sekarang, dia menyanyikan lagu yang tidak biasa dinyanyikan pengamen lain. Aku terkejut. Dan lebih terkejut ketika tiba-tiba merasa sedih dengan lantunan suaranya yang dalam dan tenang. Kurasakan ada sesuatu di sana. Entah apa...
Adakah di suatu waktu, dulu, ia pernah menyanyikan lagu ini untuk perempuan yang dicintainya diiringi petikan gitar yang kini dipeluknya?

Pernahkah ada hari dimana ia berjalan dan menggandeng tangan perempuannya di pematang sawah jauh di desa?
Lalu apa yang memaksanya menyanyikan lagu ini, di sini, di dalam metro mini, dan bukannya setia menunggui huma yang dikerjakan bersama belahan jiwa?

Apakah hidup kali ini adalah benar-benar tentang kenangan? Apakah hidup kali ini benar-benar tentang kesedihan?
Ataukah kenangan-kenangan yang kukira ada itu hanyalah sebatas khayalku yang terbawa terlalu jauh akibat kedalaman suara dan denting gitarnya yang begitu hidup di udara pengap ini?
Entahlah, tapi aku menyukai rekaanku tentang kenangan-kenangan ini....
Hey, tolong jangan berhenti bernyanyi..biarkan aku mendengar sepimu di sini...
 
Tapi aku segera saja tersadar dan kecewa ketika dengan suara baritonnya pengamen ini mengucapkan terimakasih dan mengulurkan kantong kain kumal tempat receh yang dikumpulkan dari keikhlasan (atau keterpaksaan?) beberapa orang dalam metro mini ini, termasuk aku. Tiba-tiba aku merasa akan kehilangan dia. Kehilangan rasa sepi yang hidup itu..
 
Dan saat aku menulis kenanganku ini, di metromini yang sama, aku diam diam berdoa agar bertemu lagi dengan pengamen itu. Membiarkannya bernyanyi di dekatku. Membiarkan suara baritonnya membantuku melupakan keringat yang mengembun di antara anak rambut, wajah dan leherku, untuk sejenak berlari sendiri dalam kepalaku, mereka jalan-jalan yang pernah dilewatinya hingga mampu bernyanyi begitu tenang dengan nada yang penuh sepi.

Diam-diam harus kuakui aku suka pada caranya bernyanyi. Aku suka mendengar suara yang menggambarkan betapa setianya ia pada nada dan gitarnya, sementara ibu kota memaksanya bernyanyi di jalanan, mengumpulkan recehan....

Ternyata tak kutemukan keberuntungan. Tak juga ia muncul hingga terminal terakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar