Selasa, 28 September 2010

Cinta Kami Bertiga

kami bertiga adalah saudara sekandung tanpa ikatan darah. tapi kami sekandung. atau paling tidak, begitulah kami menyebut diri kami. satu perempuan, satu laki-laki, dan satu laki-laki lain....berasal dari orang tua berbeda, kehidupan yang berbeda, kota yang berbeda. bertemu di jakarta. saling menggenapi. menyayangi dan peduli satu sama lain.
hingga satu hari, satu dari dua laki-laki itu berkata:
"gw ga takut jatuh. karena gw punya lo. orang yang bakal selalu nangkep gw, yang ga akan ngebiarin gw pecah terbanting...dan gw tau lo bakal selalu ada di situ"
begitulah laki-laki itu berucap setiap kali aku mengingatkan untuk tidak terlalu melambungkan angannya. 
hingga satu hari lain lagi, dia jatuh. jatuh sejatuh-jatuhnya. dan aku tidak sanggup menangkapnya. lenganku tidak cukup panjang untuk menggapainya. bukan karena angannya yang tak tercapai, tapi karena angannya tercapai dan menyeretnya pergi dari kami. hingga dengan kesadaran penuh, aku yang berusaha menangkapnya, terseret, terjatuh bersamanya. kami merasakan tanah yang keras dan berdebu. menyakiti tubuh dan segenap hati kami. menggelapkan dan memerihkan mata hingga kami menangis dalam diam kami, di tempat kami masing-masing. kami tak lagi mampu berbagi.
sementara laki-laki yang lain, selalu ada untuk kami. menjadi pendengar. menjadi penengah....
remukkah kami? entahlah....yang aku tau dan aku percaya, kami masih tetap kami.  orang-orang yang tidak pernah memaksakan ego kami. yang mengalah. selalu mengalah. dan lagi-lagi mengalah.
kami kalah. bahkan tidak sanggup menyeka darah. akhirnya setuju memberikan kesempatan pada waktu untuk mencoba mengeringkan darah, menyembuhkan luka. membumbungkan doa di setiap nyala dupa atau harum bunga di pelataran pura yang dulu sering menjadi tempat janji temu kami. tempat dimana kami dulunya saling memercikkan tirta di kepala dan tangan kami masing-masing, seperti kami selalu saling memercikkan ketulusan untuk bisa dirasakan bersama.
aku tidak perlu bertanya kemana hari-hari itu pergi. tidak perlu. kami telah bersepakat untuk menunggu. bersepakat menggunakan waktu untuk membumbungkan doa kami bersama, keinginan kami bersama. di pura yang sama, di waktu yang berbeda. atau di pura dan waktu yang sama, di tempat duduk yang berbeda. sendiri-sendiri...karena kami sudah tidak lagi berkuasa untuk bersimpuh dan bersila berdampingan.
selalu ada luka di mata kami semua saat saling memandang. tapi luka yang tidak boleh ditunjukkan. luka yang hanya ada di mata. merapat di jiwa. luka yang kami berusaha abaikan.
kami abaikan, demi istrinya, wanita yang dicintainya....wanita yang tidak mau aku ada di antara jiwa.
demi kami juga. kami yang ada. karena aku tau dan aku percaya, kami masih kami. masih saling menyayangi dan peduli. tiga saudara sekandung yang tak punya ikatan darah. tapi kami sekandung. atau paling tidak, begitulah kami menyebut diri kami.
tiga saudara sekandung. satu perempuan yang masih terluka, satu laki-laki yang masih terluka, dan satu laki-laki lain yang selalu ada untuk kami yang terluka. menjadi pendengar, menjadi penengah....hingga ia juga perlahan terluka....
october 5th.
untuk saudara kami. laki-laki yang teramat sangat mencintai wanitanya. laki-laki yang gambarnya masih terpajang di atas meja, di dekat tempat tidur...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar